• Home
  • About Me
instagram tiktok lynk.id.com

Manusia dan Ruangnya

Sebelum kita mulai mari kita ucapkan terima kasih, bukan hanya untuk para hadirin dan tamu kehormatan tapi juga pada mereka yang hadir untuk sekadar menancapkan luka lalu pergi, untuk mereka yang menulis cerita lalu mengakhiri, meski tahu cerita belum usai sama sekali. Juga untuk para hadirin yang gak pernah diundang, namun kehadirannya memang kehendak semesta untuk mengisi kita, entah dengan luka ataupun cinta.

Semua yang hadir bukan tanpa tujuan. Mereka yang sempat ada, masih ada dan yang akan ada hadir untuk melengkapi dan menemani kita dalam bertumbuh. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu hingga windu, mereka mengambil perannya masing-masing bagi bertumbuhnya kita. Jadi gak ada yang salah dari hadirnya mereka, gak ada juga yang salah dari perginya mereka. Salah atau gaknya mereka, itu semua hanya penilaian subyektif kita, atas dasar perasaan suka gak suka, atas dasar untung ruginya bagi kita.

Jadi, kenapa gak kita ucapkan "Selamat Datang" untuk mereka yang sudah dan sedang di sini? (meski terlambat). Ucap "Selamat Datang" juga  untuk mereka yang akan datang.

Mari kita sambut semuanya, karena semua pelengkap cerita hidup kita punya peran sendiri-sendiri: jadi anak tangga untuk menuju ke puncak kita.

Sekali lagi "Selamat Datang para Pemberi Luka dan Penebar Cinta"

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku ingin memaki tapi tak ada siapa di sisi. 
Apa sepi akan mau mendengar sementara ia sendiri ingin didengar? 

Aku ingin mengumpat.
Tapi apa aku punya akal sehat jika harus mengumpat pada kuping-kuping yang tersumbat? 

Aku ingin terbang.
Tapi tak ada yang bisa aku pegang, selain janji-janji di kitab suci yang kini usang dan berkabang, akibat lama tak aku pegang. 

Aku ingin menangis, menangis tipis saja.
Namun di luar sana gerimis. 
Di bawah langit mendung apa mungkin tangisku terbendung?
Yang ada air mata dan air hujan akan berlomba-lomba mana yang lebih pantas diberi tepuk tangan. 

Mungkin sebaiknya aku pulang. Pulang ke rahim ibu saja, tapi... bukankah ibu sudah pulang ke sisi-Nya?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Minggu malam, setelah film superhero kesukaanku berakhir, aku memutuskan tak langsung pulang. Aku menuju sebuah kedai kopi. Memesan minuman dengan cup ukuran sedang namun isinya bukan kopi, aku ingin mengurangi caffeine. Sudah sebulan kira-kira kujauhi minuman hitam pekat nan pahit itu.

Setelah minuman kupegang, tak kulihat kursi kosong di sekitar, selain kursi di depanmu. Dengan sedikit ragu aku mendekatimu. Dengan nada tak yakin aku bertanya. Kursi kosong di depanmu tak adakah yang punya. 

Sesuai harapan, kau menjawab dengan anggukan menandakan iya. Melebihi ekspektasi, kau tawarkan aku mengisi kursi itu karena kau juga tahu tak ada lagi kursi yang bisa kududuki selain yang di depanmu. 

Sedikit canggung, aku duduk sembari mengucap terima kasih. Lagi-lagi kau hanya mengangguk. Kuterjemahkan itu sebagai “Tak masalah, santai saja.”
Aku menyibukkan diri dengan melihat di sekitar, seolah ingin mencari kursi kosong lainnya. Padahal aku tak benar-benar ingin pindah dari sini.

Tak kusangka, kau menjulurkan tanganmu dan berkata “Susu Cokelat.” Aku kaget dan mematung beberapa detik, lalu tatapanmu mengarah ke minuman di depanmu. Aku mengerti dan kubalas “Green Tea,” sambil kutunjukkan minuman yang kubawa. Jabatan tangan kita terlepas. “Green tea dengan topping vanilla, saran dari masnya,”  lanjutku sambil menunjuk ke barista kedai kopi yang melayaniku tadi. Mendengarnya kau hanya tersenyum.

Lalu kau kembali sibuk dengan ponsel di tanganmu. Sedangkan aku kembali sibuk mencari bahan obrolan karena sungguh aku ingin bisa bicara lebih banyak dengan Susu Cokelat di depanku. Namun aku bukanlah orang yang bisa dengan mudah menemukan bahan obrolan, kau pun tampaknya demikian.

Hingga tak kurang dari setengah jam kita duduk berhadapan, tanpa percakapan. Hanya sesekali kau tampak melihat ke arahku, dan aku berkali-kali menatap wajah seriusmu. Dalam hati aku memuji betapa manis Susu Cokelat di depanku. 

Sampai akhirnya kau mengambil tasmu bersiap untuk pergi. Kau mengatakan bahwa kau harus pergi. “Green tea bagus untuk kesehatan,” katamu sebelum pergi. “Susu cokelatmu tampak manis, sebaiknya jangan sering-sering minum itu,” balasku. Kau tersenyum kemudian berlalu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sebelum pergi, kamu mengingatkanku agar tak berhenti menulis.
Karena hanya dari tulisanku kamu bisa tahu bahwa aku sedang baik-baik.

Aku rasa kamu keliru. Kamu kurang dalam menyelami apa yang kutulis. Kamu hanya memahami permukaannya saja.

Bagaimana bisa kamu menyimpulkan aku sedang baik-baik saja, sementara tulisanku isinya luka-luka?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Berbeda pendapat itu sah-sah saja apalagi di Indonesia yang negaranya bhinneka. Selain pendapat, pendapatan masing-masing warga pun tak sama, sehingga wajar pilihan mereka pun berbeda.

Virus itu ada tapi bukan untuk ditakuti, cukup kita waspadai.

Bagi yang bisa di rumah saja, bekerja dari rumah, tentu bagus sekali jika itu bisa menjadi pilihan yang paling bijak buat teman-teman saat ini. Namun, dengan banyaknya waktu yang dihabiskan di rumah, percaya atau tidak, "mungkin" secara tidak langsung kita akan mengkonsumsi konten-konten ketakutan, yang mana secara tidak langsung juga akan  berpengaruh ke alam bawah sadar kita. Perlu rasanya mengurangi hal-hal tersebut. Jangan biarkan semua itu mengendalikan kita dengan rasa takut. Kendalikan rasa takut kita sendiri, karena seperti itulah sebenarnya merdeka.

Bagi yang tidak bisa, yang harus tetap keluar rumah, pun silahkan jika kalian tak punya pilihan lain, jika itu menjadi pilihan yang sesuai dengan kondisi kalian. Karena memang tak semua pekerjaan bisa dilakukan di rumah dan banyak pekerjaan yang membutuhkan kehadiran fisik kalian. Terlebih lagi  buat teman-teman yang berpenghasilan harian. Jika memang harus keluar rumah, keluarlah dengan bijak, gunakan masker dan jaga jarak. Tidak lupa jaga kondisi fisik agar tetap fit.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kau tahu?
Diam-diam dirimu tak hanya kujadikan teman tengkar.
Kau lebih dari itu.
Kau kujadikan harmoni untuk lagu-laguku yang sumbang.
Kau menjadi bunga pilihan untuk karangan yang kurangkai.
Kau adalah diksi untuk melengkapi puisi-puisiku.
Kau adalah jingga pada pelangi yang kutemui.
Kau masih menjadi muara bagi arusku.
Dirimu masih menjadi utara pada peta yang kubawa.

Ingin sekali rasanya malam ini aku menyapamu dan mengatakannya langsung.
Tapi seperti yang kau tahu, aku hanya manusia dengan kepercayaan diri yang kurang.

Ingin sekali rasanya aku menghujanimu dengan pujian-pujian yang ada di kepalaku.
Tapi aku takut jika itu malah membuatmu geli.
Takut jika itu malah membuatmu merasa horor, seperti yang sudah-sudah.

Karenanya, dari kejauhan izinkanlah aku untuk sekadar berucap...
"Selamat malam, semoga pejammu lelap, hingga kau kembali siap menemui pagi yang dipenuhi rindu-rinduku yang merajam."
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku ingin merayumu dengan perbuatan
Menunjukkan kasihku dengan tindakan-tindakan
Perkataan-perkataan manisku
cukuplah untuk mereka yang suka membaca
meski kau pun suka
tapi aku tahu
dariku
kau lebih butuh pembuktian
Bukan sekadar kata-kata
apalagi sebuah bacaan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Meski sudah sekian lama kita tak bersama, di sini aku masih ingin tahu kabarmu.
Kuakui kadang diam-diam kucari tahu lewat sosial mediamu.
Tapi tetap saja rindu belum tersambut.
Mungkin jika kudengar kabarmu langsung dari bibirmu,
rinduku akan sedikit terobati meski kutahu kita tetap tak bisa berlanjut.

Bagaimana kabarmu di sana?
Sudahkah temukan seseorang sebagai penggantiku?
Jika kamu jawab sudah, akan aku akhiri tulisan ini.
Ahh aku anggap belum, karena sebetulnya aku akan tetap melanjutkannya.

Sepertinya akan lebih baik jika aku yang berkabar lebih dulu;
di sini aku baik-baik, sehat, dan masih sendiri.
Memang sempat beberapa kali seseorang datang menawarkan hati dan janji.
Tapi aku belum mampu menerima karena sampai saat ini
setengah dari hatiku masih kamu bawa bersamamu.
Aku yakin kamu pasti setuju adalah hal yang tak baik
jika menerima seseorang dalam hidup kita dengan setengah hati.
Jadi kupilih untuk menutup hati sementara waktu.
Lagi-lagi aku yakin kamu setuju akan hal itu.

Bagaimana denganmu, sudah dekat dengan seseorangkah?
Atau masih ada namaku yang kamu sebut dalam doamu?
Jika iya, berarti Tuhan kita masih mendengar doa yang sama,
dari dua hati yang ingin disatukan.
Karena di sini di setiap habis sujudku, aku masih menadahkan tanganku
mengucapkan doa yang masih saja sama seperti dulu.
Iya, di tiap sholat Isyaku, namamu selalu aku sebutkan sebagai orang
yang paling aku inginkan.
Aku masih berharap kita akan bisa bersanding
sebagaimana layaknya pasangan kekasih
yang telah lama saling menunggu untuk bertemu.

Oh iya, apa kamu sadar barusan aku menyebut “ Tuhan kita”?
Iya karena aku yakin Tuhan itu satu, Ia sama.
Sejujurnya kadang aku suka kesal
saat mengingat kita tak bisa bersama karena mereka bilang
kepercayaan kita berbeda.
Kepercayaan seperti apa?
Bukankah kita sama-sama percaya Tuhan itu ada?
Kita yang menyebutnya berbeda.
Bukankah Tuhan adalah satu zat dengan banyak entitas?

Tapi ya sudahlah, walau bagaimanapun aku tetap menghargai
keputusan kita kemarin.
Terlepas dari itu, kita berakhir karena kita
menghormati orang-orang yang selama ini merawat kita.
Setidaknya kita sudah mampu untuk tidak menjadi pribadi yang egois.
Rela mengakhiri hubungan kita demi orang yang kita cinta;
yang lebih dulu kita sebut keluarga.

Aku sudah cukup,
sekarang giliranmu
Bagaimana kabarmu?
Apa kamu merindukanku?
Karena aku di sini begitu,
merindukanmu.


-Semoga cukup mewakili hati seorang wanita yang cintanya kandas terhalang restu






Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

Search...

Categories

  • Manusia dan Ruangnya

Blog Archive

  • August 2022 (1)
  • July 2022 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (2)
  • August 2019 (2)
  • May 2019 (1)
  • April 2019 (1)
  • January 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • October 2018 (9)
  • September 2018 (4)

© 2018 manusiadanruangnya.com|