• Home
  • About Me
instagram tiktok lynk.id.com

Manusia dan Ruangnya

Jangan sebut kami pencinta alam! Itu berat, kami tidak akan kuat, biar mereka saja.

Kabur Berlibur begitu kami menyebut diri kami. Kabur Berlibur lahir tanggal 5 Desember 2014. Kami bukan Ormas, bukan geng motor, bukan juga kelompok arisan. Kami hanyalah sekelompok orang yang meluangkan waktu untuk kabur sejenak dari rutinitas kami, rutinitas sebagai pekerja, sebagai mahasiswa, ataupun sebagai pengangguran.

Kami juga bukan kelompok pencinta alam dan kami tidak mau disebut seperti itu, karena mengingat kami tidak punya kontribusi besar terhadap alam, paling mentok kami hanya memungut sampah di tempat-tempat yang kami datangi.

Kami lebih senang menyebut diri kami sebagai penikmat alam, tapi kami bukan perusak alam.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ingin aku berteriak kesal dengan kondisiku saat ini. Aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain, seperti mereka yang sepulang kuliah bisa langsung hangout ke tempat-tempat yang katanya lagi hits saat ini. Atau sekedar nongkrong di angkringan-angkringan terbaru sambil bergosip ria tentang cowok-cowok yang popular di kampus. Tapi apa dayaku, mau tidak mau aku harus menjalani semua ini, demi kuliahku dan demi adik-adikku.

Diselimuti rasa malas aku menyiapkan 75 bungkus makanan yang telah dimasak oleh ibuku dari sore tadi. Kalau di Yogya punya yang namanya nasi kucing, kamipun di sini di Bali punya nasi jinggo. Nasi putih dengan beberapa jenis lauk seperti ayam, mie, dll yang dibungkus dengan daun pisang, tentunya tak lupa diisi sambal pedas khas buatan ibuku. Nasi jinggo ini akan kami jual malam ini di pinggir jalan depan gang rumah kami.

Ini hari pertama aku berjualan di pinggir jalan sendirian seperti ini, biasanya ibuku yang berjualan ditemani adikku. Berbekal smartphone sebagai hiburan lengkap dengan powerbank-nya aku menunggu pelanggan. Aku memang nggak sendirian berjualan di pinggir jalan seperti ini, beberapa meter ke kanan ada tiga pedagang yang sama tentunya dengan resep mereka masing-masing, tapi aku yakin resep ibu yang juara apalagi ibu berinovasi dengan berbagai pilihan rasa.

Memang benar seperti kata ibu, pelanggannya banyak dari kalangan mahasiswa yang kos sekitar sini, karena porsi nasi jinggo ibu lebih banyak dari pedagang yang lainnya. Tentunya aku berharap semoga nggak ada mahasiswa dari kampusku yang berbelanja ke sini nantinya.

Setelah dua jam berjualan dan sudah habis sekitar 40 bungkus, untuk pertama kalinya ada mobil mewah berhenti di depan jualanku, “palingan orang mau nanya alamat” fikirku.

“Saya pesan yang rasa hati dua bungkus, rasa pindang dan ayam mercon masing-masing satu bungkus ya?”

“Mohon maaf Pak, yang rasa hati tinggal satu saja” sahutku sambil memperhatikan penampilan pria berkemeja putih bersih itu.

“Ya sudah rasa pindangnya kasih dua bungkus, sama tambahin krupuk aja lagi satu”

“Lho sebentar, ini benar kan nasi jinggonya Bu Ratna?”

“Iya benar Pak”

“Ibu Ratnanya nggak jualan?”

“Nggak, ibu lagi sakit saya yang gantiin ibu”

Pria itu mengambil kursi yang sengaja aku sediain untuk beberapa pelanggan yang mungkin mau makan di sini.

“Sakit apa ibumu?” pria itu melanjutkan pertanyaannya tentang ibu.

“Jantung koroner”

“Sudah ke dokter?”

“Sudah, kata dokter ibu harus banyak istirahat nggak boleh kecapekan”

“Iya jaga ibumu baik-baik ya, salam buat ibumu” sambil mengambil pesanannya dan membayar dengan uang pas, pria tampan berpenampilan rapi itu masuk ke sedan hitam miliknya.

Aku baru tahu kalau ibu ternyata punya pelanggan seperti itu, pria tampan dengan kumis tipis dan rambut klimis. Lengan kemeja yang dilipat sampai di bawah siku membuatnya terlihat lebih santai namun menarik. Nggak bisa dipungkiri sedan mewah berwarna hitam itupun jadi penunjang penampilan pria itu.

Walaupun hari ini aku pulang dengan 14 bungkus nasi yang masih tersisa, tentunya karena pria tadi aku jadi lebih semangat berjualan besok harinya. Namun sayang, sekilas aku lihat sudah ada cincin emas melingkar di jari manisnya saat dia membayar nasi yang ia beli tadi.
***
Berbeda dengan sore kemarin, hari ini sepulang kuliah aku langsung menuju dapur dan membantu ibu menyiapkan jualan hari ini.

“Kamu kok antusias kelihatannya nak?” Tanya ibu keheranan.

“Nggak kenapa Bu, oya kemarin ada salam dari laki-laki tapi kelihatannya masih muda gitu bu, bawaannya mobil sedan hitam, dia sempat kaget karena yang jualan kemarin kok nggak Ibu Ratna, kok bisa dia tahu nama ibu? Tanyaku balik penuh penasaran.

“Kok bisa juga ibu punya pelanggan orang kaya gitu?” lanjutku.

“Iya adiknya itu kemarin-kemarin sepulang kerja sering makan di tempat kita jualan, katanya nasi jinggo kita itu beda, banyak pilihan rasanya, ada rasa hati ayamnya, ada pindangnya, ada juga daging sapi atau ayamnya.”

“Sempet juga dia makan di sana sambil cerita tentang perceraiannya dengan istrinya yang baru dia nikahin selama dua tahun ini”

“Jadi dia sudah bercerai, tapi kemarin kenapa dia masih memakai cincin kawinnya ya, apa pria itu masih mengharapkan mantan istrinya itu Bu?” tanyaku penasaran.

“Sudah jangan ngomongin orang lagi, kamu siap-siap gih sana dulu” ibu memintaku untuk jualan.

Dengan dandanan tipis aku menuju ke jalan depan gang untuk berjualan dibantu oleh adikku. “Siapa sih wanita yang dengan teganya meninggalkan pria tampan itu, nggak tahu bersyukur sekali” sambil berjalan aku menggumam sendiri.

Aku terus melirik jam di layar smartphone-ku, sudah jam delapan malam harusnya pria tampanku itu muncul dan membeli beberapa bungkus nasi jinggo, padahal sudah aku sisain empat bungkus rasa hati untukknya.

Setengah sepuluh malam, sedan hitam berplat nomor 747 A itu akhirnya datang , pria tampan yang mengemudikannya pun turun. Kali ini penampilannya berbeda, dia tampak mengenakan pakaian olahraga dan sepatu futsal, wajahnya berminyak akibat bekas keringat, maskulin sekali pria tampanku ini. Tapi yang paling penting dari itu semua, saat aku melirik ke jari manis tangan kanannya ketika dia mengambil nasi jinggo pesanannya, tak ada kulihat cincin emas lagi melingkar di sana.

“Makasih, jaga ibumu baik-baik ya” ucapnya sambil mengoyak rambutku dengan tangan kirinya.

“Iya sama-sama” balasku sambil menatapnya masuk ke sedan hitamnya dan berlalu.
***
“Apa ini? Kenapa jantungku berdebar? Berdebar seperti salah minum obat batuk. Apa mungkin aku jatuh cinta dengan pria dewasa yang usianya jauh dari usiaku, duda pula. Tapi nggak ada yang salah ketika kita jatuh cinta dengan pria yang usianya jauh di atas kita dan berstatus duda.” Aku bingung sendiri dengan perasaanku, ketimbang aku sibuk memikirkan perasaan ini, lebih baik aku nikmati saja.

Aku pulang dengan suasana hati yang sudah lama nggak pernah aku rasakan lagi, selain karena pria tampan tadi, jualanku malam ini pun telah habis terjual. Ibu tentu senang mendengar kabar baik ini.
***
Ketiga kalinya aku jualan, masih sama seperti hari-hari kemarin, sampai jam delapan pria tampanku nggak ada datang. Sudah jam sepuluh malam dan sebentar lagi aku harus tutup, karena jualanku sudah habis dan yang tersisa cuma empat bungkus, dua rasa hati, satu rasa pindang dan satunya lagi rasa ayam mercon, yang sengaja aku sisain untuk pria tampan yang tak kunjung datang itu.

Hari ini berbeda dengan hari kemarin, aku pulang dengan wajah layu. “Percuma aku sisain kalau kamu ternyata nggak datang.” aku menggerutu sendiri di gang menuju rumahku.
***
Setelah beberapa hari aku jualan, tak pernah lagi pria tampan itu ke sini untuk membeli nasi jinggo rasa hati, pindang atau yang lainnya. Aku sendiri sudah nggak mengharapkan kehadirannya lagi setelah beberapa kali menunggu.

Saat aku sedang asyiknya membuka instagram di smartphone-ku, aku di kejutkan dengan suara klakson yang begitu keras. Sedan hitam itu tampak sudah di depan mataku, namun sang pengemudi tak kunjung turun, hanya kaca pintu depan sebelah kiri yang mulai terbuka, pria tampan itu melambaikan tangannya dan melempar senyum padaku. “Siapa ini? Siapa wanita cantik di sampingnya ini? Sial… kenapa dia memanggil pria tampanku itu dengan panggilan ‘sayang’?

“Saya pesan rasa hatinya empat, rasa pindang satu dan rasa ayam mercon satu, sama krupuknya tiga ya dik” ucap wanita itu.

“Ini mbak, semuanya jadi 39 ribu” ucapku sambil menyodorkan pesanannya.

“Kembaliannya ambil saja dik” dia memberiku lembaran 50 ribuan.

“Nggak mbak, ini ada kembalian kok” sambil aku mengambil kembaliannya menyerahkannya ke wanita cantik di samping pria tampanku itu.

“Terima kasih” sahutnya dan mereka pun berlalu.

“Enyahlah kalian dari sini dan jangan kembali lagi” gerutuku.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Satu lagi temanku diambil, dibunuh dan dimutilasi, teman yang beberapa tahun lebih dulu berjuang di sini. Berjuang demi mereka, mereka yang membuat kami ada di sini, maupun mereka yang sedang dan akan membunuh kami di sini. Tak tahukah mereka, kami di sini berjuang untuk mereka, demi kenyamanan dan kesehatan mereka.

Pernahkah mereka berfikir jika tanpa kami, bagaimana kehidupan mereka? Masih bisakah mereka tertawa penuh hina seperti saat ini, saat mereka sedang membunuh dengan memutilasi temanku itu?

Tak banyak yang menyadari, mereka tidak bisa hidup tanpa kami, sebaliknya hidup kami pasti lebih baik tanpa mereka.

Tak sadarkah mereka, oksigen yang mereka telan di setiap nafas mereka itu semua karena kami. Mereka mengambil kami dan menggantikannya dengan glontongan besi berkepala persegi panjang. Mereka fikir gontlongan besi itu bisa meneduhkan mereka, bisa membersihkan udara yang mereka hirup? Tidak.

Tak sadarkah mereka, kami di sini deretan para pejuang? Pejuang yang berjuang demi kenyamanan mereka, kesehatan mereka, bahkan untuk hidup mereka. Apakah ada balasan dari mereka? Ahhh.... Sudahlah....








Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ada yang masih ingat nggak dengan piala AFF tahun 2010, saat itu Timnas Indonesia kalah sama Timnas tetangga secara agregat yang sekaligus membuat Indonesia gagal jadi juara Piala AFF kala itu. Aku yang menonton dengan setianya pertandingan itu di tv kosnya Ibenk dengan beberapa camilan kering yang aku rampok dari sang tuan rumah, merasa cukup kecewa dan sakit hati saat melihat selebrasi dari hasil kemenangan Timnas tetangga. Sebagai akibat kecewa, aku menghabiskan makanan yang ada di kos Ibenk berhubung sang tuan rumah nggak ada di rumah dan di kosku sendiri nggak ada makanan, dengan harapan bisa melupakan kekalahan Timnas Indonesia. Ternyata makan makanan hasil nyolong nggak membuat suasana hati ini membaik, malah bikin aku takut kena azab kayak di sinetron-sinetron kesayangan dagang pecel favorit kalian. Aku segera pulang, takut-takut nanti yang punya kamar pulang dan ngomel-ngomel, atau mungkin malah nyumpahin, “aku sumpahin kamu diputusin Aura kasih Gung”.

Di lampu merah ehhh traffic light, aku melihat sosok wanita yang lagi kerepotan menstart motor matiknya, memang dasar tingkat kemuliaan hati ini sangat tinggi, dengan keinginan luhur akhirnya aku bantuin tuh cewek buat nyalain motornya sambil berdoa “Ohh Neptunus, jangan biarkan aku malu di sini, nyalakanlah motor ini”, akhirnya motor itupun mau menyala, doa anak soleh ini dikabulkan.

Setelah mengucapkan terima kasih, cewek itu berlalu begitu saja dan akupun melanjutkan perjalananku yang sempat tertunda demi kemanusiaan. Lewat beberapa meter dari lampu merah tersebut, kulihat cewek tadi, sambil membunyikan klakson aku mendahuluinya, nggak lama setelahnya dia mendekati motorku dan bilang makasi lagi sambil nanyain nomor handphone-ku, sebagai cowok yang murahan, sorry…sorry murah hati maksudnya, akupun ngasih nomor handphone-ku yang kebetulan sudah aku simpan di memori otak bagian kiri agak kebelakang sedikit. Dia pun nge-save tuh nomor di handphone-nya sambil mengendarai motornya, dengan rasa disiplin yang tinggi dalam berkendara akupun meniup pluit dan mengingatkan “Maaf mbak, dilarang main handphone sambil berkendara” (Oke yang ini bohongan).

Sesampainya di kos, aku seketika ingat kejadian tadi, aku penasaran itu benar manusia berjenis kelamin cewek, atau manusia wanita pria (waria) karena kebetulan dekat-dekat daerah tadi itu terkenal dengan tongkrongan para waria, tapi masa iya sih waria-waria nasional ada yang segitu cantiknya, kulit putih bertubuh mungil dan berambut, biasanya waria nasional itu badannya kekar-kekar beda sama waria-waria di Thailand yang memang hampir nggak bisa dibedain sama cewek asli. Jangan-jangan tadi itu bukan manusia tapi kuntilanak? Tapi kok bisa bawa motor ya, biasanya kan nangkring di atas pohon? Sedikit ada rasa sesal karena sudah sembarangan ngasih nomor handphone ke orang, iya kalau itu orang, kalau kutil-anak bagaimana? Aku jadi parno semalaman, biar pun kegantengan ini nggak banyak yang menyangkal, tapi tetap saja baru kali ini aku dimintain nomor handphone sama cewek, tentunya selain mbak-mbak pegawai toko pulsa eceran di depan gang. Secara nggak sadar, ternyata kejadian tadi itu bikin aku nggak kefikiran lagi sama kekalahan Timnas Indonesia di piala AFF tadi. Daripada mikirin cewek tadi itu beneran manusia atau nggak, itu kejadian nyata atau cuma halusinasi, mending aku tidur besok pagi ada kelas tambahan (fikirku).

Besok paginya aku bangun dengan utuh, mata saya dua, hidung saya satu, kaki saya dua pakai sepatu bau. Dengan sedikit stretching di tempat tidur sambil nyariin bekas iler di bantal, kali aja aku ngiler ternyata nggak, nggak banyak. Sebelum mandi tak lupa ku tolong ibu merapikan tempat tidurku.

Karena aku adalah pemuda yang sangat menjunjung tinggi kebersihan lingkungan dan ingin mengurangi polusi di kota Denpasar ini, sebelum berangkat kuliah akupun mandi dulu, kali ini aku tak lupa pakai sabun, setelah mengeringkan badan indah ini dengan saputangan, iya dengan saputangan karena handukku ternyata kehujanan semalam, akupun menggunakan parfum seadanya demi mengurangi polusi udara di jalan nanti akibat burket yang nggak teratasi ini. Sambil nyanyi-nyanyi dengan kualitas suara yang nggak perlu diragukan lagi ke ‘fals’annya aku berdandan dengan semangat, siapa tahu nanti ada ngajak kenalan lagi di lampu merah ehh traffic light.

Dalam lima menit prosesi dandan kelar, aku berangkat ke kampus dengan penuh harapan suatu saat nanti jadi kebanggaan bangsa ini (Amin). Di jalanan bukannya ada yang minta nomor handphone atau diikutin sama cewek-cewek abg sambil teriak-teriak histeris, aku malah dihadang oleh genangan air yang membabi buta di Jalan Tukad Yeh Aya, aku dan bapak-bapak yang mau mengais rezeki demi anak istri dan beberapa demi simpanannya, terpaksa putar arah mencari jalan alternative.

Aku sampai di kampus dengan selamat tanpa kekurangan apapun kecuali uang jajan, baru juga naruh tas di meja sudah disamperin sama tukang palak kelas untuk ditagih uang iuran, maka makin berkuranglah uang jajan yang sebenarnya sudah kurang. Sambil menunggu kabar kalau dosenku nggak bisa mengajar hari itu (ngarep), aku buka handphone kali aja Aura kasih ada sms mau ngajak ngedate.

“Pagi”

“Pagi juga, siapa ya?” balasku pura-pura nggak tahu.

“Ini aku yang semalam motornya mati, oya kenalin namaku Piita” demi kepentingan kita bersama namanya aku plesetin sedikit.

“Ohh tak kira siapa, aku Igung, salam kenal”

“Iya salam kenal Gung, aku ganggu kamu nggak nih sekarang?”

“Nggak kok, kebetulan aku lagi santai aja nih” sambil naikin kaki ke kepala teman saking santainya.

“Syukur deh, sekali lagi aku mau bilang makasi nih sudah bantuin semalam”

“Udah santai aja cuma gitu doang ahhh”

Sekitar setengah jam berikutnya nggak ada balasan dari dia, dan dosenku pun masuk kelas dengan semangatnya siap memberi materi kuliah sedangkan aku yang merupakan salah satu anak telat’an siap untuk menerima ilmu dari Sang Guru. Di tengah-tengah keseriusanku diskusi sama teman tentang materi kuliah saat itu, kalau nggak salah materinya tentang korelasi kenaikan BBM terhadap kejadian luar biasa kutilan di kabupaten xyz (nggak-nggak…), aku dapet sms yang berbunyi:

“Sbb (Sorry baru balas) Gung, aku baru sampai tempat kerja nih, aku kerja dulu ya, thaaaa…thaaaaa”

“Iyaa Pii, yang rajin kerjanya” aku balas sambil memberi sebongkah semangat. Aku menebak-nebak kira-kira dia kerja dimana. “Nggak mungkin dia pekerja malam karena dia mulai kerjanya pagi, nggak mungkin dia kuli bangunan, orang badannya mungil kaya linggis gitu, nggak mungkin juga polwan orang rambutnya nggak cepak, apalagi pawang buaya, nggak…nggak mungkin”

Saking seriusnya mikirin kira-kira apa kerjaannya Piita, nggak terasa kelas mau berakhir, sedih rasanya karena harus terpisah dengan dosenku, dan yang lebih bikin sedih habis ini ada kelas lagi “Ohhh NEPTUNUS, KAPAN PENYIKSAAN INI BERAKHIR?” aku berteriak dengan binalnya di dalam kelas, teriakanku dibalas dengan nyanyian yang tiba-tiba melantun dari dagang pecel di sebelah kampus.

“…….Lihatlah Wajah Ibu Pertiwi

Pucat, Letih, Dan Sedihnya Berkarat

Berdoa, Terus Berdoa

Hingga Mulutnya Berbusa-Busa

Ludahnya Muncrat Saking Kecewa

Ibu Pertiwi Hilang Tawanya

Tak Percaya Masih Ada Cinta

Seluruh Hidupku Jadi Siaga

Pagar Berduri Kutancapkan Dihati

Untukmu Negeri…….”

(Untukmu Negeri, Iwan Fals)

Lagu Bang Iwan pun mengetuk pintu hatiku yang sebening air mata ibu pejabat ketika meminta keadilan sama KPK, hati ini pun terbuka, aku juga nggak mau tanah air ini kehilangan generasi emasnya gara-gara aku malas belajar, “Baiklah pak dosen, aku siap menelan engkau, ehhh menelan materi kuliahmu maksudnya pak” gumamku dalam hati. Tapi sebelum menelan materi kuliah, ada baiknya aku menelan makanan untuk membakar semangat ini lagi, aku dan beberapa teman sekelasku menuju dagang pecel yang memainkan lagunya Bang Iwan tadi untuk meminta sepiring dua piring makanan, sungguh cara promosi yang efektif dari abang pecel ini.

Sampai kuliah berakhir hari itu, aku nggak ada lagi dapat kabar dari Piita, aku juga ragu kalau harus menghubungi dia duluan, aku belum tahu kerjaannya dia apa, siapa tahu dia seorang mata-mata yang tengah bertugas, bisa-bisa sms-ku membuat dia ketahuan dan menggagalkan misinya. Sampai sore tiba aku masih bingung mau ngapain, hanya remote tv lah yang bisa aku jadikan pelampiasan akibat rasa bosanku.

Setelah tiga kali bolak-balik kamar mandi nggak jelas, channel tv berganti lagi dan lagi namun tak ada satupun acara tv yang menarik perhatianku sampai aku melihat cuplikan acara Benteng Takeshi di tv, dalam permainan itu cuma ada dua pilihan yaitu jika berhenti maka kamu akan kalah tanpa melakukan apa-apa karena waktu terus berkurang dan pesaing terus berdatangan, sedangkan pilihan kedua yaitu lanjutkan, setidaknya pilihan ini ngasih kamu dua kemungkinan, gagal atau lolos. Sama seperti situasi saat ini jika aku diam dan hanya menunggu Piita yang menyapaku maka kemungkinanku kalah lebih besar karena waktu terus berkurang dan kemungkinan besar diluar sana banyak pesaing-pesaingku yang ingin mendekatinya yang walaupun aku sendiri sebenarnya belum ada rasa apa-apa sama dia, aku hanya butuh teman ngobrol saat ini, akhirnya aku beranikan diri sms Piita sambil berharap dia bukan mata-mata atau ninja yang lagi bertugas, lagian sudah jam lima sore harusnya sudah jam pulang kerja.

“Pii, masih kerja ya? Malam ini kamu ada acara nggak?”

“Udah mau pulang sih tapi teman-teman mau ngajakin makan dulu, nggak tahu sampai jam berapa, kenapa Gung?” balasnya.

“Ohh gitu, maunya tak ajakin keluar nonton atau kemana gitu, bosan di kamar terus nggak ada kerjaan”

“Pacarnya kemana? Lagi sibuk ya?”

“Pacarku jauh Pii, LDR-an gitu, aku di sini pacarku di masa depan, jauh banget kan?”

“Walahhh, kasian juga ya kalau LDR-annya kayak gitu Gung, bisa aja kamu.”

Aku nggak tahu harus balas apalagi, intinya jawabannya hari ini dia belum pasti bisa keluar denganku, tapi setidaknya masih ada kemungkinan bisanya. Kira-kira apa yang bisa aku lakukan buat ngebunuh waktu malam ini? Ibenk? Dia lagi sibuk dengan segala aktivitasnya di kampus dan juga sibuk sebagai sales kutang. Bagaimana dengan Wayan, dia lagi sibuk dengan pacar barunya, aku dicuekin dan saat ini aku sedang getol-getolnya memanjatkan doa agar mereka putus dan kembali ke pelukanku lagi, kadang egois itu perlu.

Meskipun sudah satu tahun aku tinggal di kota ini, tapi aku belum punya banyak teman, ya jujur saja aku memang sedikit pemalu di depan orang yang belum benar-benar aku kenal, tapi kalau sama teman yang sudah dekat banget kadang akulah yang sering membuat mereka malu, misalnya pernah suatu hari aku nganterin Ibenk ke Cellular World, di depan toko handphone itu, ada beberapa orang menggunakan kostum aneh, sebenarnya hal kayak gitu sudah pernah kulihat di beberapa lampu merah, ada yang menggunakan kostum beruang dengan tujuan menghibur orang-orang yang sedang menunggu lampu hijau menyala, mereka akan ngasih duit receh ke orang berkostum badut itu, ya bisa dibilang seperti ngamenlah, aku nggak tahu apa itu namanya. Nah, aku fikir badut-badut yang didepan Cellular World itu sama kaya mereka yang di lampu merah, dengan menjunjung tinggi perikemanusiaan, aku pun melemparkan duit receh di depan badut yang sedang menari-nari dengan binalnya. “ehh Gung, mereka tuh maskot untuk promosi bukan badut di lampu merah, malu-maluin aja loe!!” bisik Ibenk di depan telingaku.

***

Matahari tampak mulai menjatuhkan diri, langit tampak kemerahan pertanda senja, aku cuma duduk-duduk saja di depan kamar kos sambil ngelihatin Ibu kos menyapu halaman rumahnya dan baru saja aku berniat untuk sedikit mengelus halus motorku yang berdebu, Ibu kosku berkata “Ibu kok nggak pernah lihat Igung ngajak teman ceweknya ke sini sih?”

“Wong masih fokus belajar toh Bu.” Mbak-mbak tetangga kosku nyahut sambil keluar dari kamarnya.

“Belum punya pacar bu”, sambil ngeluarin senyum simpul aku menjawabnya.

Mereka berdua akhirnya bercakap-cakap dari kejauhan dengan bahasa jawa, tetangga kosku ini mbak-mbak dari Jember sedangkan Ibu kosku dari Banyuwangi yang sekarang menikah dengan orang bali. Beliau itu kalau ngomong dengan bahasa jawa jadi kelihatan banget tanah kelahirannya tapi kalau ngomong bahasa bali sudah kaya orang bali tulen. Sambil mengelus-elus halus motorku, aku mendengarkan percakapan mereka dengan sedikit usaha untuk mengartikannya, takutnya mereka menjadikan status kejombloanku itu sebagai lelucon buat mereka, tapi apa daya aku tetap nggak ngerti percakapan mereka dan memasrahkan ketidaklakuanku ini jadi bahan lelucon mereka.

Sekitar jam delapan malam, aku baru menerima kabar lagi dari Piita, dia bilang jadi mau nonton film denganku, berhubung hari sudah malam kami memutuskan untuk ketemuan saja di bioskop, aku segera bergegas menyiapkan diri. Dengan penampilan yang menurutku sudah maksimal, tak lupa kukenakan kemeja flannel kotak-kotak andalanku sebagai tameng dinginnya malam, aku pergi ke bioskop berharap semua berjalan lancar hari ini.

Setelah membeli dua buah tiket film horror, kebetulan hanya film itu yang tersisa, aku menunggu Piita sambil memperhatikan beberapa calon penonton yang kira-kira bakal aku ajak nonton entar di studio. Ada empat orang remaja yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang bermotif kotak-kotak, entah mereka dari PAUD mana aku nggak tahu, tiga diantaranya cewek dan satu lagi cowok yang kadar ke-feminim-annya nggak beda jauh dengan ketiga teman ceweknya. Ada juga sepasang kekasih beda suku dan ras, si pria seorang bule dengan tinggi hampir dua meteran dan kekasihnya wanita bali dengan kulit eksotis berminyak, yang tingginya hampir sama denganku.

Setelah beberapa menit menunggu, aku melihat Piita dari jauh menuju ke arahku, semoga dia masih ingat mukaku. Dari kejauhan dia tampak senyum dan melambaikan tangan padaku, belum juga mulai filmnya tapi dia udah nyerah melambai-lambai kayak gitu, fikirku. Aku mulai merasa sedikit ada rasa canggung, semakin dia dekat semakin aku nggak tahu harus bersikap seperti apa di depannya. Aku berdiri dan kami pun berhadap-hadapan “Hay…” , aku menyapanya duluan, “Hay Gung…”

Dia tampak menawan, beda dengan kemarin saat pertama ketemu di lampu merah, dia tampak lusuh saat itu, kali ini dia tampak segar kaya ikan di pasar yang baru diambil dari nelayannya langsung. Mungkin itu karena sedikit polesan lipstick merah di bibirnya. Matanya tampak lebih besar akibat lensa kontak yang dia gunakan, sehingga sekilas dia seperti melotot melihatku, seolah-olah aku telah berbuat nista terhadapnya. Kedua pipinya tampak kemerahan tapi tak semerah pipi Jeng Kelin. Rambut terurai bebas menempel manja di pundaknya. Perpaduan sneakers dan rok pendek yang sesekali tertiup angin membuat penampilannya semakin menarik saja di mataku.

Sambil menunggu film dimulai, dia menceritakan tentang dirinya, sekarang aku baru tahu kalau dia bekerja di Carrefour di jalan Sunset Road sebagai Sales Promotion Girl, dari ceritanya tentang pengalaman sebagai Sales Promotion Girl, ternyata banyak tantangan yang harus dia hadapi mulai dari tuntutan penjualan yang harus memenuhi target sebelum masa yang sudah ditentukan, godaan dari berbagai customer yang seringkali melecehkan, kadang juga harus kuat dicuekin calon customer dan tahan terhadap penolakan-penolakan.

Sebelum dia melanjutkan cerita tentang dirinya itu, aku sedikit menyela, aku menanyakan apakah nanti nggak ada cowok yang marah kalau tahu dia nonton film bersamaku, dia memastikan kalau dirinya baru saja putus dengan cowoknya, sempat aku berfikir kalau saat ini dia cuma butuh teman untuk membantunya move on dari mantannya itu. Oke, aku rasa nggak apa-apa, setiap orang mempunyai cara untuk memulihkan hatinya yang patah termasuk dengan cara mengenal orang baru, dan aku senang jika jadi bagian dari caranya pulih dari masalalu, aku berharap semoga kami nggak larut dalam kenyamanan yang mungkin akan kami rasakan selanjutnya.

Kali ini giliran dia yang menanyakan apa aku sudah punya pacar atau belum, aku jawab sesuai jawabanku sebelumnya, cewekku lagi di masa depan entah saat ini dia lagi ngapain dan dengan siapa aku nggak tahu, dia hanya tertawa kecil sambil mengangguk meng’iya’kan jawabanku. Kami juga jadi tahu ternyata usia kami nggak beda jauh, aku sembilan hari lebih tua darinya.

Dari ceritanya, aku juga mendapat jawaban kenapa malam itu untuk pertama kalinya ada seorang cewek yang mengajak aku kenalan dan meminta nomor handphone-ku. Piita bilang kalau dia sebenarnya juga takut saat aku membantunya malam itu, dia takut jangan-jangan aku adalah germo yang akan mencoba menculik dia atau mungkin aku seorang penculik anak-anak yang ingin menculiknya, bahkan sempat juga dia mengira aku seorang pedofilia yang ingin menculiknya, mengingat dirinya bertubuh mungil, yang sering diejek seperti anak-anak oleh temannya, sejenak dia tertawa setelah mengatakan sesuatu yang terkesan menghinaku itu. Dia melanjutkan ceritanya, setelah dia melihat aku mendahului motornya dan meninggalkan dia dibelakangku, semua ketakutannya hilang, dia tahu kalau aku nggak berniat melakukan hal-hal aneh terhadapnya. “Itu murni demi kemanusiaan” aku menyela. Karena nggak mau bertele-tele, maka malam itupun dia memberanikan diri meminta nomor handphone-ku. “Buat jaga-jaga siapa tahu nanti ban motorku pecah dijalan, jadi nggak bingung minta bantuan siapa” sambungnya, kamipun tertawa.

Filmnya akan segera dimulai, sebelum masuk studio kami membeli minuman hangat karena didalam studio pastinya akan dingin banget, aku menawarkan popcorn namun dia nggak mau karena kami kehabisan popcorn manis, yang tersisa hanya yang asin, “Kalau mau asin keringatku juga asin” ujarnya.

Dia tampak serius menonton setiap adegan-adegan yang katanya menegangkan, detik-detik ketika sang hantu akan muncul namun tak kunjung muncul-muncul, hanya backsound-nya yang terdengar seram namun tokoh yang ditunggu-tunggu tak muncul di layar, hanya ada tokoh-tokoh yang mengerang ketakutan, nggak kebayang kalau backsound filmnya diganti dengan musiknya spongebob mungkin beda lagi kesannya. Piita tampak serius menunggu hantunya muncul di layar, sedangkan aku nggak begitu tertarik dengan film horror, aku sendiri lebih tertarik mendengar cerita Piita tentang dirinya.

Akhirnya film yang berdurasi dua jam inipun berakhir, aku mengajak Piita untuk makan atau sekedar keliling-keliling Mall sebentar, namun dia harus segera pulang karena besok dia shift pagi di tempat kerjanya. Shift paginya dimulai jam delapan pagi tentunya minimal dua jam sebelum itu dia pasti sudah bangun, ritual dandan cewek pastinya memakan waktu berjam-jam, apalagi dengan pekerjaannya yang menuntut dia harus berpenampilan semenarik mungkin. Shift paginya baru akan berakhir jam empat sore, dan dilanjutkan dengan shift sore sampe jam sepuluh malam.

Kami berpisah di depan studio, sekitar lima meter di depanku dia berbalik arah, “makasi ya” ucapnya, aku cuma tersenyum sambil mengangguk lalu dia berjalan membelakangiku sedangkan aku terus ngelihatin punggungnya takut setan di film tadi menempel disana, sampai akhirnya dia berbelok arah dan menghilang dari pandanganku. Semoga ini bukan terakhir kalinya kami bertemu.

Nggak ada pertemuan lagi setelah itu, kami hanya saling bertukar pesan singkat. Lewat pesan singkatlah kami saling mengabarkan tentang diri kami masing-masing, kami saling menanyakan apa masing-masing dari kami sudah makan atau belum, sedang apa saat ini, pertanyaan-pertanyaan klasik yang sangat membosankan.

***

Beberapa jam sebelum malam pergantian tahun, kami memutuskan untuk melewatinya bersama, taman kota jadi pilihan kami, hampir semua orang akan berkumpul di sana, meledakkan uang-uang mereka di udara untuk kemeriahan malam pergantian tahun. Beberapa menit sebelum jarum jam kompak menunjuk ke atas, hujan turun namun nggak ada yang meninggalkan tempat mereka karena memang nggak terlalu deras dan nggak mau penantian mereka beberapa jam sebelumnya jadi sia-sia.

Mulai terdengar hitungan mundur, dibarengi dengan ledakan yang makin menjadi-jadi. Telingaku sepertinya mulai budeg kaya habis dengerin kentut Godzilla apalagi ditimpali dengan bau mesiu yang semakin menyengat, sungguh perpaduan yang pas. Orang-orang sibuk mendongak ke atas menyaksikan indahnya langit malam itu, termasuk aku. Aku kaget, bukan karena ledakan-ledakan yang saling bersahutan itu tapi karena Piita tiba-tiba memelukku, kedua tangannya nyangkut di bahuku, aku diam tak berkutik. “Apa ini?” tanyaku dalam hati. Aku nggak menghindar ataupun membalas.

Satu ciuman di pipi sebagai penutup pelukannya, aku masih diam, dia juga diam memalingkan wajahnya ke arah kembang api terbesar saat itu, kami canggung. Aku tahu kami nggak benar-benar menikmati ledakan-ledakan yang saling bersahutan itu lagi seperti sebelumnya.

Sama seperti orang-orang yang nggak berhenti membuat langit bising malam itu, langitpun nggak mau kalah, sesekali muncul kilat di langit dan diikuti suara gemuruh, gerimis terus turun, sedikit demi sedikit pakaian kami basah. Aku mengajak Piita untuk pulang sebelum hujan makin deras dan flu ataupun demam menyerang, namun dia belum mau pulang katanya dan makan jagung pasti akan membuat dirinya lebih hangat.

Kami menuju bapak tua yang sedang sibuk mengipas bara, dibantu seorang anak yang kira-kira masih duduk di bangku sekolah dasar, entah itu anak atau cucunya aku nggak peduli, tapi aku sedikit malu, mengingat apa yang anak ini lakukan berbeda denganku yang seumuran segitu dengan gampangnya minta mainan sambil nangis-nangis.

Sambil menikmati jagung kami yang sedikit gosong namun kurang matang di bagian pangkalnya kami sesekali mendongak keatas, kembang api tampak mulai berkurang, “Habisin dulu jagungnya baru kita pulang ya”, aku hanya mengangguk tanda setuju.

Diperjalanan pulang aku sibuk dengan fikiranku yang tiba-tiba teringat kejadian tadi saat Piita memelukku, namun nggak ada ungkapan “aku suka kamu” atau “aku sayang kamu”, mungkin kami belum yakin dengan apa yang kami rasakan, satu-satunya yang benar adalah rasa nyaman yang kami rasakan.

“Besok shift apa?”

“ Shift sore, kenapa?”

“Aku anterin ya?” aku nggak sadar tiba-tiba menawarkan diri untuk nganterin Piita ke tempat kerjanya.

“Kamu nggak kuliah memangnya?”

“Aku kan kuliahnya sore, sebelum kuliah aku nganterin kamu dulu, aku kuliahnya nggak sampai jam sepuluh malam, nanti dari kampus aku langsung jemput, mau ya?” aku sedikit memaksa.

“Iya boleh” jawabnya sambil senyum.

Sesampainya di rumah, kami disambut oleh dua anjing minipom yang bulunya terlihat nggak terawat, Piita sedikit tampak buru-buru membuka kunci gerbang karena hujan turun makin deras sejak kami mulai masuk ke gang rumahnya tadi.

“Kakakmu kemana?” aku nanyain keberadaan kakaknya karena aku tahu dia di Bali hanya tinggal dengan kakaknya sedangkan kedua orang tuanya tinggal di Balikpapan.

“Palingan masih keluar sama cowoknya atau teman-temannya” jawabnya sambil melemparkan aku handuk putih bertuliskan “Shinzhui” di salah satu sudutnya yang baru dia ambil dari lemari di kamarnya.

Aku duduk di kursi tamu sambil mengeringkan rambutku dengan handuk, sesekali aku melirik ke sebuah bingkai kecil berwarna emas yang di tengahnya berisi nama Tuhan yang juga berwarna emas dengan background hitam. Tepat di bawahnya terdapat sebuah bingkai yang ukurannya empat kali lebih besar yang berisi kaligrafi bertuliskan arab dengan warna senada.

“Nyalain saja tv-nya Gung” teriaknya dari arah dapur.

Aku nggak menghiraukan perintahnya karena sedang sibuk dengan badanku yang masih basah, telapak kaki dan tangan juga terasa gatal akibat kedinginan. Dia datang dari arah dapur dengan membawa dua gelas teh manis panas. Karena saking dinginnya, tehnya tak terlalu panas ditanganku. Hujan terdengar mulai mereda, aku segera pamit pulang sebelum semakin deras dan banjir dimana-mana. Piita mengantarku sampai depan pintu, sebelum pulang aku lihat anjing minipom tadi tidur berhadap-hadapan nggak menghiraukan aku yang lewat disampingnya.

***

Ditanggal pertama ditahun yang baru ini, resolusiku yang pertama adalah mengawalinya dengan bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Sekilas aku melirik kearah layar handphone yang aku letakkan di bawah bantal dari semalam, kali saja Aura Kasih ada sms tapi ternyata nggak, harapan yang sia-sia, akupun melanjutkan tidurku.

Keesokan harinya seperti janjiku, aku menjemput Piita kerumahnya dan mengantarnya ke tempat kerja. Semenjak hari itu kami jadi sering ketemu, hampir setiap hari kami ketemu. Kami sering menghabiskan waktu bersama, nggak sepi lagi hidupku meski tanpa Ibenk dan Wayan. Saat aku mengantar Piita ke tempat kerja, kami selalu melewati lampu merah tempat kami pertama kali ketemu, nggak bosan-bosannya kami mengungkit tentang awal pertemuan kami itu.

Ada saatnya juga Piita yang main ke kosku. Ketika pertama kali dia kekosku, aku ingat banget ekspresinya ketika melihat foto seorang dewi terbingkai rapi di pojok kamarku, tepatnya di arah timur laut kamarku, dibawahnya juga terdapat sesuatu yang aku yakin dia sudah tahu itu untuk apa, tempat aku menghaturkan sarana persembahyanganku. “Itu salah satu manifestasi Tuhanku, sebagai simbol bundanya alam semesta” aku menjawab pertanyaan yang belum terlontar dari mulutnya dan kamipun nggak ada membahas tentang itu lagi.

Ini juga jadi kali pertamanya ibu kosku melihat aku mengajak teman cewekku ke kos tentunya selain Ibenk, karena Ibenk dimata ibu kosku adalah seorang cowok, jadi dia nggak masuk perhitungan.

***

“Akhirnya Igung ngajak pacarnya juga ke sini” aku disambut dengan kalimat syukur dari ibu kosku ketika baru pulang dari kampus.

“Itu cuma temen saja bu” tukasku.

“Iya kan berawal dari temen dulu baru jadi demen Gung”

“Iya lihat saja nanti bu”

“Iya, di sini bebas kok Gung mau ngajak siapa saja boleh asal nggak ngelakuin macem-macem dan jangan terlalu berisik kalau pas malam, nggak enak sama tetangga” ibu kosku ini memang paling mengerti anak muda.

“Iya bu,” jawabku sambil memarkir motorku.

Akhirnya ibu kosku tahu sekarang kalau anak laki-laki satu-satunya yang ngekos di rumahnya ternyata masih normal dalam hal orientasi seksual, iya aku satu-satunya cowok yang ngekos di sini karena teman-temanku sudah pada pindah, aku sendiri malas harus ngangkut-ngangkut barang lagi, dan aku juga sudah nyaman dengan suasana kos di sini, apalagi bapak kos ku seorang kepala keamanan daerah sini, seenggaknya nggak ada yang berani nyolong sendalku.

***

Aku dan Piita memang nggak ada saling mengungkapkan perasaan masing-masing, aku masih yakin perasaanku ke dia itu cuma rasa nyaman nggak lebih, aku nggak tahu bagaimana perasaan dia ke aku. Sampai suatu malam sepulang kerja dia mampir kekosku. Saat dia lagi di kamar mandi untuk mencuci muka dan menghapus make up yang bertumpuk-tumpuk menempel di wajahnya seperti cat air yang menghiasi selembar kain kanvas, aku mendengar handphone-nya berbunyi, sekilas aku lihat ke layar handphone-nya ada nama seorang cowok menelpon, Piita memintaku menjawab panggilan itu untuknya, belum sempat aku menekan tombol di pojok kiri atas panggilannya sudah terhenti, sesaat setelah itu sms pun masuk, aku membukanya dengan niat menyampaikan ke Piita.

“Yang, sbg bukti maafku, aku ada kejutan buat km, lagi sejam aku jmput km ke rmh” Aku baca berkali-kali pesan singkat itu sampai akhirnya aku sadar kalau itu sms dari mantannya yang sekarang mungkin bukan mantan lagi. Belum sempat aku menyampaikan isi sms itu ke Piita, tiba-tiba dia sudah duduk di sampingku.

“Kamu sudah balikan lagi ya sama dia?” tanyaku dengan nada datar dan berusaha sedikit tenang.

“Aku ngasih dia kesempatan” jawabnya sambil memalingkan wajahnya.

“Iya, kesempatan itu selalu ada untuk setiap orang yang mau jadi lebih baik, kalau kamu percaya dia bisa berubah maka kasih dia kesempatan buat ngebuktiin, nggak ada orang yang bisa jadi lebih baik tanpa melakukan kesalahan pada awalnya.” Entah kesambet malaikat mana aku bisa jadi ngomong bijak kaya gini.

“Sejam lagi dia sampai rumahmu, kamu harus pulang sekarang biar kamu bisa sampai lebih dulu di rumah” lanjutku.

“Kamu marah? Bilang kalau kamu marah!!”

“Nggak sama sekali, aku bukan siapa-siapa yang berhak marah.” Jawabku kaku

“Jadi benar tebakanku selama ini kalau kamu memang nggak ada perasaan sama aku?” kembali dia melontarkan pertanyaan yang nggak mau aku dengar.

“Aku nggak ada perasaan apa-apa, aku cuma merasa nyaman saja, sehari dua hari aku akan terbiasa, cepat pulang sekarang sebelum dia sampai di rumahmu”

“Aku sudah mulai suka, iya suka atau mungkin sudah sayang sama kamu” katanya, dia tak menghiraukanku saat menyuruhnya pulang.

“Sehari dua hari perasaan itu bakal hilang dengan sendirinya, pulang sekarang langit sudah mendung” aku terus membujuknya untuk pulang secepatnya karena aku nggak mau percakapan kami terus berlanjut.

Dia diam dan mengambil tasnya, aku membantunya membereskan beberapa barang yang dia gunakan untuk membersihkan make up-nya. Aku mengantarnya sampai keluar gerbang, aku melihat ke atas, mendung tampak semakin tebal dan langit semakin gelap tapi mungkin tak lebih gelap dari perasaanku saat ini “Kayanya mau turun hujan, hati-hati entar dijalan”. “Iya” jawabnya.

Kira-kira sepuluh menit setelah dia pergi, dia menelponku, “ada apa ya kira-kira, perasaan aku nggak punya hutang sama dia?” aku bertanya-tanya dalam hati.

“Gung, aku lagi di selatan lampu merah tempat kita pertama kali ketemu, hujannya deras banget, dimotor kakakku nggak ada jas hujannya” ternyata dia menghubungiku karena kehujanan tapi itu lebih baik ketimbang karena mau nagih hutang.

“Iya tunggu disana di bawah pohon, aku kesana sekarang”

Aku langsung nyamperin dia dan membawakan jas hujan yang kebetulan di motorku ada dua buah.

“Ini pakai jas hujannya dulu, kamu hati-hati dijalan”

“Kapan aku balikin?”

“Nggak usah, kamu pakai saja, sekarang lagi musim hujan kemana-mana harus bawa jas hujan kalau pakai motor, kalau mau balikin nanti saja kalau sudah nggak musim hujan lagi” jawabku sedikit ngawur.

“Ya sudah kamu jalan sekarang, hati-hati” lanjutku.

Aku pun melepasnya kembali di tempat yang sama, di lampu merah yang sama, saat kami pertama ketemu, dengan sebuah jas hujan bekas sebagai kenang-kenangan dariku untuknya.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Siang itu, hari keenam dibulan April 2017, aku baru saja turun dari speed boat yang telah membawaku menyebrang dari pulau yang letaknya sebelah selatan pulau Bali, pulau kecil tempat kampungku berdiri.

Aku yang ditemani anak keduaku, menunggu jemputan anak pertamaku yang akan membawaku ke kontrakannya, sedangkan anak keduaku tinggal di tempat berbeda, yang jaraknya lumayan jauh dari kontrakan kakaknya. Dia kos di kos-kosan dekat sekolahnya.

Belum ada lima belas menit kami menunggu, anak pertamaku pun datang dan anak keduaku pamitan untuk pergi lebih dulu dengan motor yang aku belikan beberapa tahun lalu saat dia masih duduk di bangku SMP. “Jangan menangis!” pesan yang hanya terdiri dari dua kata itu aku sampaikan kepada anak keduaku, aku sendiri tidak tahu kenapa aku berpesan seperti itu.

Setelah anak keduaku pergi, aku dan anak pertamaku pun pergi ke rumah kontrakannya, besok aku harus kontrol ke Rumah Sakit Umum Pusat bagian Pelayanan Jantung Terpadu, tentunya diantar oleh anak pertamaku.

Sesampainya di rumah kontrakan yang ukurannya tidak terlalu besar itu, aku pun langsung mengistirahatkan diri, dengan selang oksigen di kedua lubang hidungku, kedua kakiku yang sudah mulai membengkak ini pun aku selonjorkan sepanjang sofa dengan lubang-lubang dan robekan di beberapa bagian serta spons yang sudah tak empuk lagi di salah satu sisinya.

Seperti sore-soreku yang lain, aku habiskan untuk menonton adegan demi adegan, konflik demi konflik yang ada di drama India, drama yang sering jadi bahan protes oleh suami dan anak-anakku, “Drama yang membuat otak menjadi tegang” begitu kira-kira protes mereka. Di tengah-tengah jeda iklan, aku teringat akan pesan dua kata yang telah aku lontarkan kepada anak keduaku tadi siang, “Jangan Menangis!”. Aku tersadar pesan itu memiliki makna lain atau mungkin itu cuma bagian dari pesan yang lebih panjang seperti “Kamu sudah dewasa, Ibu sudah tidak kuat lagi, jangan menangis karena kepergian ibu.”
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Nenek, apa sedot lemak nggak cukup buatmu? Kenapa mesti sedot perhatian masyarakat lagi? Sudah cukup perhatian masyarakat tertuju ke saudara kami di Palu dan Donggala. Jangan buat diri nenek malu dan jangan buat kami mencela!

Nenek, nenek nggak usah ikut menarik perhatian kami dulu, lagian kami belum butuh hiburan murahan seperti itu Nek. Kami di sini sedang sibuk menggalang dana, untuk saudara kami di Donggala dan Palu. Di situ nenek malah sibuk mendulang hina, mendulang cela dan membuat diri malu.

Nenek, di usiamu sekarang yang mau menginjak kepala tujuh, apakah nggak ada hal yang lebih positif syukur-syukur bijak yang bisa nenek lakukan? Seperti lebih rajin olahraga biar nanti kuat saat menggendong cucu. Atau mungkin nenek banyak-banyak baca dongeng biar nanti punya banyak referensi dongeng buat diceritain ke cucu. Syukur-syukur nenek bisa memberi kami yang muda-muda ini nasihat bijak.

Nenek nggak perlu jadi tokoh tertentu, cukup beri kami contoh. Contoh yang bisa kami jadikan pedoman, bukan yang bisa jadi acuman. Kami lebih senang nenek jadi teladan ketimbang jadi edan.

Nenek, kenapa nenek melakukan hal yang kami, yang masih belum matang ini saja berfikir berkali-kali untuk melakukannya karena syukurnya kami masih waras. Apa nenek terinspirasi dari penyanyi rap itu? Apa nenek mau menirunya? Jangan nek, jangan lakukan itu, kasihan nanti cucumu kalau tahu neneknya ngelakuin hal yang nggak guna seperti itu.

Oya, saya sempat baca juga kalau selain hoax penganiayaan yang menimpamu, nenek juga pernah menyebar hoax tentang PT. Dirgantara dijual ke pihak asing, hoax tentang uang pecahan 200 ribuan. Apa nenek mau hoax-hoax yang nenek sebar itu membuat nenek nanti disebut Nenek Ratu Hoax?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tiga orang baik dan satu orang biasa, sedang berkumpul di warung kopi depan kompleks rumah mereka. Orang baik pertama bertanya kepada orang baik kedua, "Kok bisa sih orang-orang memanggilmu orang baik? Padahal kamu kan nggak pernah memberi sumbangan ke panti asuhan, panti jompo, atau kepada anak-anak yatim piatu di panti asuhan seperti yang sering aku lakukan."

Orang baik keduapun menjawab, "Aku memang nggak pernah menyumbang ke panti asuhan, panti jompo ataupun panti pijat dan yang lainnya, tapi aku selalu membantu orang-orang yang kesusahan, banyak orang datang ke rumahku untuk meminta bantuan, entah meminta uang untuk berobat, untuk membayar sekolah anaknya, bahkan ada yang meminta uang untuk membelikan anaknya sepeda motor, nggak ada satupun dari mereka yang nggak aku bantu."

Sekarang giliran orang baik kedua yang bertanya kepada orang baik ketiga,
"Kalau kamu kenapa orang-orang bisa memanggilmu orang baik?"
"Karena namaku memang Orang Baik", sambil memperlihatkan e-KTPnya, orang baik ketiga menjawab.
Orang baik pertama dan keduapun saling tatap karena keheranan.

Nggak lama kemudian ketiga orang baik itu bertanya kepada orang biasa, "Kalau kamu kenapa nggak ada yang menyebutmu orang baik? Sedangkan kamu juga nggak jarang kami lihat menyumbang di panti asuhan, banyak juga orang yang sudah kamu bantu."
Orang biasa itupun menjawab, "Mungkin...... Mungkin karena aku nggak punya sosial media."


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sebuah desa kecil, desa yang terletak di antara dua gunung, desa yang sangat terpencil, Dacil namanya. Akses ke desa ini pun sangat sulit.

Dalam hal tertentu, seperti perhitungan hari baik, pengobatan, bahkan petunjuk-petunjuk tentang kehilangan barang ataupun yang lainnya, masyarakat di desa ini dan sekitarnya mengandalkan seorang dukun, dukun yang sangat mereka segani. Mbah Guli, begitu panggilan masyarakat kepada beliau.

Hari ini tepat selasa kliwon, tampak tiga orang sudah mengantri di teras rumah Mbah Guli, teras rumah dengan beberapa kursi yang sengaja disediakan untuk tamu-tamu yang berkunjung. Mereka menunggu giliran masuk entah untuk berobat atau sekedar meminta petunjuk.

Pasien pertama sudah dipanggil dan langsung masuk ke ruangan si Mbah. Ruangan yang luasnya sekitar 4x4 meter, dengan lampu remang di kedua sudut ruangan di belakang tempat duduk si Mbah. Asap kemenyan tampak mengepul di hadapan Dukun yang mengenakan pakaian serba gelap itu. Sesekali si Mbah terdengar batuk, mungkin karena sudah usia atau mungkin juga karena setiap hari bergelut dengan asap kemenyan.

"Kamu ke sini pasti karena sakit ya cu?" si Mbah menebak alasan kedatangan pasiennya.

"Tidak Mbah" jawab pasien.

"Lantas kenapa kamu ke sini?"

"Saya kehilangan kotak perhiasan saya Mbah"

"Itu maksud Mbah, apa hatimu tidak sakit kehilangan kotak perhiasanmu itu?"

"Sakit mbah, di dalam kotak itu ada banyak perhiasan yang sudah saya kumpulkan selama bertahun-tahun Mbah"

"Kira-kira siapa yang telah dengan teganya mengambil kotak itu Mbah? Mohon petunjuknya Mbah"

"Iya cu, sebentar. Padahal kamu sudah menaruh kotak itu di tempat yang aman, kan cu?"

"Iya Mbah"

"Mbah lihat yang ngambil kotak perhiasan kamu itu orang terdekat kamu cu, orang yang tahu tempat kamu menaruh barang-barang berhargamu cu"

"Kalau boleh tahu siapa namanya Mbah?" tanya si pasien.

"Maaf cu, Mbah tidak boleh mengatakan namanya walaupun Mbah tahu cu"

"Iya Mbah"

"Apa ada lagi yang cucu tanyakan?"

"Tidak Mbah, terima kasih Mbah, saya pamit ya Mbah"

Pasien kedua diperbolehkan masuk ke ruangan Mbah Guli.

"Gimana cu, kalau kamu kehilangan apa cu?" tanya si Mbah.

"Saya tidak kehilangan apa-apa Mbah"

"Apa kamu sakit?"

"Tidak juga Mbah, saya tidak sakit"

"Lantas kenapa kamu ke sini cu?"

"Begini Mbah, sudah seminggu lebih saya tidak bisa tidur Mbah"

"Benarkan tebakan Mbah, kamu itu kehilangan waktu tidurmu, kehilangan waktu istirahatmu"

"Iya Mbah"

"Saran Mbah, kamu kurang-kurangin keluar di sore hari apalagi menjelang malam"

"Kurang-kurangin juga ngomongin orang di poskamling malam-malam, nanti jadi keasyikan sampai pagi. Gimana kamu bisa tidur kalau sudah keasyikan gitu?"

"Iya Mbah, terima kasih banyak Mbah."

"Iya cu, sama-sama."

Pasien ketiga pun dipanggil dan diperbolehkan masuk ke ruangan si Mbah.

"Kamu ada masalah apa cu?"

"Tidak Mbah, saya tidak ada masalah"

"Apa ada yang sakit?"

"Tidak juga Mbah."

"Atau kamu kehilangan sesuatu"

"Tidak juga Mbah, saya tidak kehilangan apa-apa."

"Lantas kenapa kamu ke sini cu?"

"Begini Mbah, sekitar sebulan lalu saya sempat ke sini, saya lihat ramai sekali orang yang antri disini, dari cerita mereka dan pengalaman saya bulan lalu, saya heran sama Mbah. Mbah selalu bisa memberikan nasehat buat orang-orang yang datang ke sini, Mbah selalu punya jawaban tiap pertanyaan mereka"

"Kalau boleh saya tahu, maaf Mbah sebelumnya kalau saya lancang, bagaimana caranya Mbah bisa menjawab semua pertanyaan dan masalah orang-orang yang datang ke sini Mbah?"

"hahahaaa, huks huks hukss" si Mbah tertawa kecil dan sempat batuk lagi.

"Kamu salah cu, tidak semua pertanyaan bisa Mbah jawab"

"Memangnya pertanyaan seperti apa yang tidak bisa Mbah jawab?" tanya si pasien penasaran.

"Pertanyaan pertamamu tadi itu cu yang tidak bisa Mbah jawab."


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hari ini hari rabu, dua hari setelah hari senin, sehari sebelum hari kamis. Aku bangun pagi, niat mau beli macam-macam tanaman ke penjual tanaman hias, untuk ditanam di kebun belakang rumah. Maklum, sekarang aku punya hobby baru, menanam tanaman, maunya sih ganti hobby lagi jadi menanam saham, tapi sahamnya yang nggak mau ditanam.

Aku sudah bangun tapi tidur lagi, karena ternyata di luar masih dingin, mas-mas penjual tanaman juga pasti belum bangun, aku yakin itu. Tiba-tiba ada suara mesin di belakang pekarangan rumah, ada orang bajak sawah, syukurlah bukan bajak laut. Aku bangun lagi karena kasihan bapak yang bajak sawah nggak ada yang nemenin, tapi nggak jadi deh aku temenin, bapak petaninya juga nggak mau ditemenin. Sudah jam sepuluh pagi, aku tahu itu karena jarum jam paling pendek menunjuk ke angka  'X' (X adalah angka romawinya sepuluh).

Penjual tanamannya pasti sudah bangun kalau jam segini, biar pun kami nggak janjian bangun bareng. Aku mandi dulu biar wangi biar nanti dikasih harga murah. Tapi nggak jadi mandi akunya, mas penjual tanamannya palingan juga belum mandi, kan nggak adil aku mandi dia nggak.

Aku sudah siap jalan menuju ke kompleks penjual tanaman hias, aku tahu aku siap karena aku sudah pakai celana dan kaos, sendal jepit juga iya. Oya aku nggak jadi jalan, jadinya mengendarai sepeda motor supaya cepat jalannya, kata Pak Kasir. Pak kasir itu manusia berjenis kelamin laki-laki (kalau dilihat dari kumisnya) yang pernah mengantarkan pohon Ketapang Kencana ke rumah.

Nggak terasa sudah sampai di sini, di sini di tempat dagang tanaman pinggir jalan, di jalan sebelum Bypass I.B Mantra, di tempat kalian sering kena tilang. Kok cepat sampainya? Iya karena tidak lambat. Kok tidak lambat? Karena di jalan tadi tidak ada yang menghambat. Aku melihat-lihat berbagai jenis tanaman di sini, boleh sih di pegang, cuma aku mau melihat-lihat saja. Sambil menyiram tanaman Mas'e menyapa.

Mas'e: Silahkan dipilih-pilih dulu Mas.

Orang Ganteng: Iya mas, oya waktu ini saya beli tanaman di sini, baru seminggu saya tanam kok langsung mati sih mas? Mas kasih saya tanaman palsu ya? Jangan-jangan Mbak'e juga Mas kasih cinta palsu (sambil melirik ke istrinya Mas'e).

Mas'e: Mas beli tanaman apa memangnya?

Orang Ganteng: Itu lho yang daunnya kaya daun pisang tapi buahnya kata Mas nggak boleh dimakan.

Mas'e: Ohh pisang hias Helikonia (benarnya: Heliconia)?

Orang Ganteng: Iya itu dah Mas Heligukgukguk, kok bisa mati ya Mas?

Mas'e: Habis Mas tanam langsung Mas siram nggak?

Orang Ganteng: Emangnya harus disiram ya Mas?

Mas'e: Lah iya kalau nggak disiram ya mati Mas lama-lama.

Orang Ganteng: Lho kok saya yang mati?

Mas'e: Tanamannya Mas yang mati.

Orang Ganteng: Ohh pantesan,  dari pertama emang nggak pernah tak siram Mas, takut tanamannya basah.

Mas'e: Owalah Mas, mbokk tanamanne tetep disiramlah Mas, biar seger.

Orang Ganteng: Iya ya Mas nanti saya siram biar hidup lagi dia.

Mas'e cuma tersenyum sambil memberi kode buntut ke temannya, kode untuk membantunya mengangkat tanaman, sebenarnya sih Mas'e minta aku yang bantu, tapi aku nggak mau, takut dikasih bayaran nanti, kan enak. Sambil menunjuk ke arah tanaman yang daunnya lebar selebar jidatnya si Mas'e, aku berkata:

Orang Ganteng: Ini apa namanya Mas?

Mas'e: Itu Kuping Gajah Mas.

Orang Ganteng: Kuping Gajah? Kasihan ya Mas gajahnya?

Mas'e: Kok kasihan?

Orang Ganteng: Mas nggak kasihan emangnya sama gajahnya? Kupingnya Mas jual di sini.

Mas'e: ha ha ha hak hah hak (anggap saja Mas'e ketawa).

Orang Ganteng: Kalau yang itu apa namanya Mas? (sambil jari tengahku menunjuk ke tanaman yang berbunga merah muda).

Mas'e: Itu Kamelia (benarnya: Camellia)

Orang Ganteng: Jadi ini toh tanaman yang dibikinin lagu sama Om Ebiet G. Ade?

Mas'e: Masa sih Mas?

Orang Ganteng: Mas nggak tahu kalau tanaman Mas ini dibikinin lagu? sampai empat lagu lho  Mas?

Mas'e: Nggak Mas (sambil geleng-geleng kepala)

Orang Ganteng: Ahhh Mas ini nggak peka, Mas pernah nggak dibilang nggak peka?

Mas'e: Nggak pernah.

Orang Ganteng: Berarti Mas beruntung, beda sama saya, saya sering dibilang nggak peka Mas.

Orang Ganteng: Lho? Udah ahh Mas, ngomong sama Mas jadi ngelantur kemana-mana. Saya nggak beli ya Mas, mungkin lain kali aja Mas. Pamit Mas'e.

Mas'e: Iya Mas, alon-alon.

Akupun pulang karena hari sudah siang, sudah jamnya makan siang, orang-orang pasti lagi makan siang, kecuali aku makannya nasi. Aku sampai rumah dengan cepat karena memang aku cepat-cepat. Aku mau cepat-cepat tidur biar nggak keburu malam. Sebelum tidur aku tiba-tiba ingat sih Mas'e. "Kira-kira Mas'e juga tidur siang nggak ya?"

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Search...

Categories

  • Manusia dan Ruangnya

Blog Archive

  • August 2022 (1)
  • July 2022 (1)
  • June 2020 (1)
  • May 2020 (2)
  • August 2019 (2)
  • May 2019 (1)
  • April 2019 (1)
  • January 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • October 2018 (9)
  • September 2018 (4)

© 2018 manusiadanruangnya.com|